novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Saat cinta berpaling dan hati menjelma serpihan-serpihan kecil
saat prahara terjadi
saat ujian demi ujian-Nya terasa terlalu besar untuk ditanggung sendiri
kemanakah seorang istri harus mencari kekuatan agar hati mampu terus bertasbih?

Telah lama saya meneropong; tidak hanya ke dalam hati sendiri, melainkan mencoba masuk ke bilik hati perempuan lain, lewat kisah-kisah yang mereka bagi kepada saya.

Selama bertahun-tahun pula saya mencatat berbagai kisah itu dalam ruang hati, seraya berharap suatu hari bisa menuliskannya.
Catatan Hati Seorang Istri, memuat sebagian kecil peristiwa itu. Isinya kisah-kisah yang mengharu biru dan membuat saya ternganga. Sebab ternyata betapa dahsyat kekuatan yang dimiliki perempuan, sosok yang seringkali dianggap lemah, tidak berdaya, dan pada tataran tertentu sering hanya dianggap sebagai rnahluk nomor dua.

Buku ini, meski tidak begitu banyak, merekam perjalanan saya sebagai perempuan, istri dan ibu dari dua orang anak. Juga pengalaman, dialog hati, pertanyaan dan ketidakmengertian saya tentang isi kepala dan sikap laki-laki. Kekecewaan, kemarahan dan kesedihan bahkan keputusasaan yang tergambar, mudah-mudahan dapat sedikit mewakili potret sebagian perempuan (baca: istri).

Demi menghargai nara sumber, beberapa detil sengaja saya samarkan, namun pada intinya tidak mengurangi esensi cerita.
Harapan saya Catatan Hati Seorang Istri, bisa membawa pembaca pada kesiapan yang lebih baik, ketika kita (dan bukan cuma tokoh-tokoh dalam buku ini) mendapat ujian serupa. Bukankah ujian itu Allah pergilirkan pada tiap-tiap hamba?
Cinta yang lepas dari genggaman?
Orang tercinta yang selama bertahun-tahun selalu di sisi kita, kemudian Allah memintanya untuk kembali ke haribaan-Nya. Siapkah?
Ikhlaskah? Siapkah secara iman?
Pemikiran demikian membuat saya takut. Khawatir akan iman dan keikhlasan yang tidak seberapa. Ragu akan kemandirian,
karena bertahun-tahun saya merasa dimanjakan dan menjadi tergantung kepada pasangan dalam banyak hal. Kesiapan menghadapi apapun takdir-Nya, sungguh bukan perkara mudah.
Mengingat hidup selalu memiliki warna yang berbeda, saya mengajak kepada sesama perempuan untuk mulai menulis. Catat tidak hanya kenangan indah, tetapi juga semua pikiran, beban perasaan, kesedihan, ketakutan, apa saja, sebelum terlambat untuk menuliskannya.

KDRT yang semakin marak, hingga tak jarang merenggut nyawa seorang istri.
Ibu menghabisi anak kandungnya justru karena cinta…
Sungguh batin saya seperti dikoyak melihat semua tragedi yang melibatkan perempuan. Karenanya saya ingin kita sama-sama berjanji. Berjanji untuk mencari teman bicara. Berjanji untuk mencoba menuliskan setiap kegelisahan yang kita alami. Berjanji untuk menjadikan tulisan itu cermin dan renungan, sebab mungkin itu akan membawa kita pada jalan keluar, yang sebelumnya terasa teramat buntu.
Kaitlyn, Aliet Sartika, Nejla Humaira, mbak Ya-yu, dan Ida Azuz. Mereka telah memulai dan mengisi ruang yang belakangan ini selalu saya sisipkan dalam buku-buku terbitan Lingkar Pena. Buat perempuan yang lain, sungguh saya menunggunya.

Ah. Kini waktunya berdoa dan meminta kepada-Nya lebih sering. Sebab semakin hari, saya menyadari kebutuhan dan ketergantungan kepada Allah sedemikian besarnya. Semoga Allah memberi kekuatan bagi semua semua harnba-Nya, khususnya para perempuan. Amin.
Salam
Asma Nadia
–o0o–

Catatan 1
Kalau Saya Jatuh Cinta Lagi
“Kalau saya menikah lagi, itu murni karena saya suka dengan gadis itu. Saya jatuh cinta. Titik.”
Santai, santun meski ceplas ceplos. Begitulah kesan saya tentang Pak Haris. Pimpinan sebuah penerbitan di Solo yang saya temui dalam satu kesempatan.
Saya lupa bagaimana awalnya hingga Pak Haris menyinggung poligami. Kebetulan saya tertarik dengan persoalan ini, dan sedang menulis sebuah novel bertema poligami yang penggarapannya sangat menyita energi.
Saya ingin mendalami pikiran laki-laki. Sebenarnya apa yang ada di kepala mereka ketika menikah lagi? Awalnya saya kira seperti lelaki lain, Pak Haris akan mengelak atau memberi jawaban ala kadar. Ternyata…
“Sejujurnya Mbak Asma, hanya ada satu alasan inti kenapa lelaki menikah lagi.”
Saya dan seorang teman saat itu langsung menyimak baik-baik.
“Dan itu bukan karena menolong, bukan karena kasihan, atau alasan lain. Saya lelaki. Dan kalau saya menikah lagi itu murni karena saya suka dengan gadis itu. Saya jatuh cinta. Titik. ”
Wah, jujur sekali. Pikir saya salut.
Dialog yang berawal di rumah makan berlanjut ke dalam mobil. Saya dan teman yang memang bekerja di penerbitan yang dikelola Pak Haris kemudian mengunjungi penerbitan beliau. Saya diperkenalkan kepada beberapa pegawai dan juga produk-produk mereka.
Di sofa tamu, obrolan berlanjut lagi.
“Sebenarnya Ramadhan kemarin saya tergoda sekali untuk menikah lagi.Sungguh keinginan itu datang begitu dahsyatnya.”

“Padahal Ramadhan ya, Pak?” Lelaki itu tertawa, mengiyakan.

“Dan saya kira saya hampir saja berpoligami, kalau saja saya tidak bertemu seorang teman. Ikhwan yang memberi satu pernyataan yang luar biasa benar dan akhirnya berhasil mengubah niat saya.”

Dalam hati saya menebak-nebak kemana penjelasan Pak Haris berikutnya.
“Ikhwan itu berkata begini, Mbak Asma… Jika saya menikah lagi: Pertama, kebahagiaan dengan istri kedua belum tentu… karena tidak ada jaminan untuk itu. Apa yang diluar kelihatan bagus, dalamnya belum tentu.

Hubungan sebelum pernikahan yang sepertinya indah, belum tentu akan terealisasi indah. Dan sudah banyak kejadian seperti itu.”
Benar sekali, komen saya dalam hati.
“Yang kedua, Pak?” Lelaki itu terdiam, lalu menatap saya dengan pandangan serius.
“Sementara luka hati istri pertama sudah pasti, dan itu akan abadi.”
Saya melihat Pak Haris menarik napas panjang, sebelum menuntaskan kalimatnya,
“Sekarang, bagaimana saya melakukan sebuah tindakan untuk keuntungan yang tidak pasti, dengan mengambil resiko yang kerusakannya pasti dan permanen?”

Dialog di atas terjadi bertahun-tahun lalu. Saya tidak tahu bagaimana kabar Pak Haris sekarang, apakah masih berpegang pada masukan si ikhwan itu atau tidak.
Saya sendiri menerima aturan poligami yang memang ada dalam Qur’an, tetapi cenderung menyetujui pendapat seorang ustadz muda yang mengatakan asal syari’at poligami pada dasarnya adalah monogami. Artinya dalam keadaan normal, monogami tetap lebih utama.
Betapa pun, sungguh saya iri terhadap para istri yang sanggup mengikhlaskan suaminya menikah lagi. Hal yang tentu teramat sulit. Bagaimana bisa berbagi pasangan hati yang selama bertahun-tahun hanya menumpukan perhatian pada kita sebagai satu-satunya istri?

Rasa iri tadi sering ditambah dengan kesedihan yang luar biasa, saat menyadari betapa mudahnya lelaki kemudian melalaikan tanggung jawab bahkan sampai menelantarkan istri pertama dan anak-anak nya.

Untuk kebahagiaan yang belum pasti?
Teringat seorang teman asal Malaysia yang saya temui di Seoul. Lelaki yang dengan lantang menerangkan statusnya, ketika ditanyakan berapa anak yang Allah telah karuniakan kepadanya,
“Dari istri pertama ada tiga. Dari istri kedua belum ada…”
Barangkali karena merasa bertemu dengan muslim di negeri yang sebagian besar penduduknya non muslim itu, hingga dia menjadi terbuka kepada saya. Apalagi setelah saya katakan bahwa saya seorang penulis.